Rabu, 10 Juli 2013

Falsafah Penyuluh Pertanian




 Kata “falsafah” ternyata memiliki pengertian yang sangat beragam. Butt (1961), mengartikan falsafah sebagai suatu pandangan hidup. Sedang Dahama dan Bhatnagar (1980), mengartikan falsafah sebagai landasan pemikiran yang bersumber kepada kebijakan moral tentang segala sesuatu yang akan dan harus diterapkan di dalam praktek. Sedangkan Soekandar W (1973) mengartikan falsafah secara umum adalah suatu upaya untuk mencari landasan berfikir, melalui suatu pemikiran dan renungan yang mendalam. Sebagai hasilnya diperoleh suatu landasan berfikir yang dianggap benar, patut, wajar dan sesuai.



Berkaitan dengan itu, Kelsey dan Hearne (1955) menyatakan bahwa falsafah penyuluhan harus berpijak kepada pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya. Karena itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah penyuluhan adalah: bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia. Falsafah penyuluhan pertanian merupakan dasar pengertian, yakni dasar untuk melakukan kegiatan dan dasar untuk bekerja (Soekandar, 1973).
Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa:
  1. Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat. (Adicondro, 1990). Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.
  2. Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
  3. Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.
Menurut Soekandar (1973) sejalan dengan pengertian/batasan umum tentang falsafah, maka falsafah penyuluhan pertanian terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Penyuluhan pertanian merupakan proses pendidikan
Pendidikan yang dimaksud bukan pendidikan yang umum, namun merupakan pendidikan luar sekolah bagi orang dewasa yang sering disebut sebagai pendidikan non formal. Sasaran pendidikan ini adalah para petani dan keluarganya yang umumnya adalah orang-orang dewasa, maka berlakulah kaidah-kaidah bagaimana orang dewasa belajar.
Pendidikan non formal pada penyuluhan pertanian, dimaksudkan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku petani agar tercapai kualitas hidup yang lebih baik melalui kegiatan pertanian yang berorientasi pada agribisnis. Perilaku yang dimaksudkan meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap petani yang dijadikan sasaran penyuluhan pertanian.
Bila uraian singkat tersebut diatas dipikirkan lebih mendalam yang mengarah pada falsafah sebagai proses pendidikan, maka dalam menciptakan pertanian yang modern, perlu dipersiapkan sumberdaya manusia pertanian yang berkualitas tinggi melalui proses pendidikan dan sistem pendidikan, dimana pendidikan untuk petani kita sebut dengan “penyuluhan pertanian”, dimana penyuluhan pertanian merupakan suatu proses pendidikan. Sebagai proses pendidikan, di Indonesia juga dikenal adanya filsafat pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantoro yang berbunyi:
  1. Ing ngarsa sung tuladha, Mampu memberikan contoh atau teladan bagi masyarakat sasarannya
  2. Ing madya mangun karsa, Mampu menumbuhkan inisiatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba
  3. Tut wuri handayani, mau menghargai dan mengikuti keinginan-keinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kesejahteraan hidupnya
Disamping itu, di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3-T: Teach,Truth, and Trust (pendidikan, kebenaran dan kepercayaan/keyakinan), yang berarti bahwa.penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini. Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non-ekonomi) bagi perbaikan kesejahteraannya.
Bertolak dari pemahaman bahwa penyuluhan merupakan salah satu sistem pendidikan, untuk mengkaitkan falsafah penyuluhan dengan pendidikan yang memiliki falsafah; idealisme, realisme, dan pragmatisme,. maka penyuluhan pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis,. disamping itu penyuluhan pertanian harus selalu mengacu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat ditemui di lapangan atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.  
2. Penyuluhan sebagai proses demokrasi
Pengertian demokrasi dalam hal ini adalah sebagai suatu proses mencari kata sepakat dari orang-orang atau kelompok orang dalam mengambil keputusan bersama untuk kepentingan bersama berdasarkan kehendak dan keinginan dari orang banyak. Petani tidak dapat dipaksa oleh petugas pertanian agar mau menerima dan menerapkan sesuatu. Petani berhak memutuskan sendiri segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan pertimbangan, kerjasama dan musyawarah, dengan demikian penyuluh pertanian dalam menjalankan tugasnya harus dapat bekerja sama dengan petani dan membantunya dalam melaksanakan kegiatan usahataninya.
Melalui kegiatan penyuluhan pertanian di pedeaan bagi petani dan keluarganya, secara tidak langsung telah menanamkan dasar-dasar demokrasi, karena petani sebagai sasaran kegiatan penyuluan dapat memilih, menentukan, dan memutuskan usahatani yang akan diusahakan. Dengan falsafah ini hubungan antara petani dan penyuluh merupakan hubungan kemitraan (patnership), dimana petani mempunyai kebebasan untuk memilihdan memutuskan.

3.Penyuluh pertanian merupakan proses yang terus menerus.
Indonesia yang sebagian besar penduduknya berada di pedesaan dengan mata pencaharian bergerak di bidang pertanian, selalu diupayakan untuk meningkatkan produktivitas usahatani agar pendapatan pertanian keluarganya meningkat. Peningkatan kesejahteraan petani tidak akan berhenti, dengan sendirinya upaya peningkatan produktivitas usahatani harus terus menerus ditingkatan sesuai dengan perkembangan teknologi. Pertanyaan yang muncul, dapatkah produktivitas usahatani ditingkatkan kalau kualitas sumberdaya manusia pertanian tidak ditingkatkan?
Teknologi usahatani selalu mengalami perubahan untuk meningkatkan produktivitas, dengan demikian akan menuntut perubahan perilaku para petani sebagai sasaran penyuluhan pertanian yang secara terus menerus harus mengikuti perkembangan teknologi. Penyuluhan pertanian merupakan suatu sistem, sehingga diperlukan upaya perubahan perilaku petani sebagai salah satu sistem untuk terus belajar agar meningkatkan kemampuannya, penyuluhan pertanian merupakan proses yang berkesinambungan, namun kita maklumi bahwa penyuluhan pertanian dalam penyelenggaraannya tidaklah berdiri sendiri dan diperlukan kerjasama dengan pihak terkait, karena memerlukan sarana dan prasarana yang memadai sehingga diperoleh hasil yang efektif.    
Margono Slamet (1989), menekankan perlunya falsafah penyuluhan yang harus berakar pada falsafah Negara Pancasila, terutama yang berkaitan dengan sila-sila; Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, artinya jika petani (sebagai sasaran utama penyuluhan pertanian) diminta untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan produksinya. Seluruh Bangsa Indonesia juga harus mau mengangkat harkat kaum taninya demi kemanusiaan dan keadilan sosial yang berlandaskan kepada kepercayaan kepada yang Maha Esa, menghargai prinsif demokrasi, serta demi tercapainya persatuan Bangsa Indonesia.
Dalam pengertian diatas, perlu dipahami bahwa, petani bukanlah orang bodoh dan karena itu tidaklah pantas untuk tetap dibiarkan atau bahkan dibuat hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.  Petani haruslah dilihat sebagai manusia biasa yang dimiliki potensi untuk mengembangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari kemiskinan dan penderitaan yang mereka kehendaki. Oleh karena itu pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mampu tidak saja mengembangkan potensi petani tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembangkan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan.
Dengan demikian, penyuluhan pertanian harus didukung oleh kegiatan lain yang dapat menjadikan petani sebagai petani-petani tangguh. Petani tangguh bukanlah petani yang dengan penuh kesabaran sanggup tahan hidup dalam kebodohan dan penderitaan, tetapi petani yang terus menerus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dengan kreatif berswakarsa dan berswadaya dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan demi perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.
Sehubungan  dengan falsafah penyuluhan pertanian yang berlandaskan pada falsafah Pancasila. Loekman Soetrisno (1989) minta agar juga mengkaitkan dengan motto bangsa yang: Bhineka Tunggal Ika yang membawa konsekuensi pada; (1) perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat ”regulatif sentralistis” menjadi ”fasilitatif partisipatif”, dan (2) pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang sering kali juga mewarnai ”local agricultural practices”. Falsafah penyuluhan seperti itu, mengandung pengertian bahwa:
(1).Administrasi penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh peraturan-peraturan dari ”pusat” yang kaku,  karena hal ini seringkali petani tidak memperoleh keleluasaan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Demikian juga halnya dengan administrasi yang terlalu ”sentralistis” sering kali tidak mampu secara cepat mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu ”petunjuk/restu” dari pusat,. Padahal dalam setiap permasalahan yang dihadapi, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali berdasarkan pertimbangan bagaimana untuk dapat ”menyelamatkan keluarganya”. Dalam kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisiatifnya sendiri. Dilain pihak, administrasi yang terlalu ” regulatif” seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk mengambil keputusan untuk usaha taninya.
(2).Penyuluh, selain memberikan ”ilmu”nya kepada petani, ia harus mau belajar tentang ”ngelmu”nya petani yang sering kali dianggap tidak rasional (karena yang oleh penyuluh dianggap rasioanl adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat). Padahal, praktek-praktek usahatani yang berkembang dari budaya lokal sering juga sangat rasional karena telah mengalami proses ”trial, and error” dan teruji oleh waktu.

Berkaitan dengan pendapat dari beberapa ahli tersebut diatas, maka Ensminger (1962) menyatakan bahwa falsafah penyuluhan dapat dirumuskan sebagai berikut:

  • Penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat (khususnya para petani)
  • Sasaran penyuluhan adalah segenap warga masyarakat (pria, wanita, termasuk anak-anak) untuk menjawab kebutuhan dan keinginannya.
  • Penyuluhan juga mengajar masyarakat tentang apa yang diinginkan, dan bagaimana cara mencapai keinginan-keinginan itu.
  • Penyuluh bertujuan untuk membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri.
  • Penyuluhan adalah ”belajar sambil bekerja”. dan ”percaya tentang apa yang dilihatnya.”
  • Penyuluhan adalah pengembangan individu, kepemimpinan, dan pengembangan dunianya secara keseluruhan;Penyuluhan adalah suatu bentuk kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat.
  • Penyuluhan adalah pekerjaan yang diselaraskan dengan budaya masyarakatnya.
  • Penyuluhan adalah hidup saling berhubungan, saling menghormati dan saling mempercayai antara satu kepada yang lainnya;
  • Penyuluhan merupakan kegiatan dua arah
  • Penyuluhan merupakan proses pendidikan yang demokrasi dan berkelanjutan. 

(Sumber:bppk grabag)                 
Comments
0 Comments
Facebook Comments by BPPK Kecamatan Grabag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar